Jumat, 22 Juni 2012

PERAN ETNIS CINA DALAM PERKEMBANGAN EKONOMI-POLITIK INDONESIA PADA MASA ORDE BARU

BAB I PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah

Dalam proses perkembangan bangsa Indonesia sampai saat ini,Etnis cina merupakansalah satu elemen penting yang turut andil dalam proses terbentuknya Indonesia.Etnis cinayang merupakan kaum imigran yang tersebar di seluruh dunia, telah ada di Indonesia jauhsebelum kemerdekaan,tepatnya pada masa kerajaan di Nusantara.Keberadaan Etnis Cina diIndonesia tidak terlepas dari tujuan mereka untuk berdagang dan mendirikan bisnis. Namundemikian, seiring berjalanya waktu,Etnis Cina yang menetap di indonesia juga telahmelahirkan suatu budaya baru,hasil asimilasi budaya asli mereka dengan budayaIndonesia,yang kemudian menjadi sebuah identitas dan melahirkan klasifikasi masyarakat baru yang sering disebut “Cina Peranakan”.
Eksistensi dan peran Etnis cina di Indonesia semakin besar dari waktu ke waktu. Etnis Cina telah berhasil merasuk dan menjadi suatu bagian dari tatanan masyarakat indonesia yang plural. Mereka menjadi fondasi ekonomi pasca kemerdekaan, dengan kegiatan perdagangan yang begitu intens dan skala yang besar. Menjadikan Etnis cina sebagai pemegang kontrolatas kegiatan perekonomian di Indonesia pada saat itu. Ditambah lagi,kedekatan parapengusaha Etnis Cina dengan pemerintah yang berkuasa, yang pada saat itu dipegang oleh Soeharto, semakin memperlancar usaha mereka dalam menjalankan bisnis. Selain itu,Etnis Cina yang telah berkembang di banyak wilayah di Indonesia juga telah berhasil membentuk suatu lapisan masyarakat baru yang terstruktur dan terorganisir, dan mereka juga telah merasa sebagai satu bagian dari masyarakat indonesia, yang kemudian memunculkan keinginan Etnis Cina untuk turut berpartisipasi dalam menyuarakan tuntutan serta pendapat mereka dalamperpolitikan Indonesia, yang kemudian baru terwujud secara nyata pasca Reformasi.























BAB II PEMBAHASAN



A.    Sejarah dan Latar belakang Kedatangan Etnis Cina di Indonesia.

Bangsa cina merupakan bangsa perantau yang didominasi oleh kaum pedagang. Kondisisosiologis di Cina sebagai sebuah negeri yang sempat dijuluki Tirai Bambu karena penerapansistem komunis totaliternya. Merupakan tipologi masyarakat yang cenderung berkelana danberjuang hidup dengan cara berdagang dan bisnis. warga Cina Peranakan pada tahun 1930setidaknya nampak jelas bahwa peranan mereka lebih banyak dibidang perdagangan.Sebelumnya, telah muncul klasifikasi warga Cina keturunan/peranakan (yang lahir diIndonesia) dan warga Cina totok atau asli. Keduanya memang sangat berperan dalam bidangperdagangan di Indonesia, pada tahun 1930-an. Terutama warga Cina Asli yang menurutanalisa, pada pasca kemerdekaan, yang lebih mendominasi arus perdagangan di Indonesia.Peranan kuat atas perekonomian di Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang Eropa danwarga Cina memang cukup banyak dicatat dalam sejarah. Semacam terdapat pembagianperan kala itu pasca pra-kemerdekaan; Eropa yang berperan sebagai eksportir dan importir,warga pribumi sendiri berperan sebagai petani nelayan, pedagang eceran, dll, sedangkanperan warga Cina peranakan berada diposisi tengah-tengah sebagai pedagang perantara ataudistributor besar.Memasuki Tahun 1986 sampai Agustus 1999 merupakan masa keemasan bisnis etnisCina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan “Keluarga Cendana”. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyanggga pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal,spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi pointistimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas. Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan dandibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi tidak kuat, maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang “menyakitkan” dengan adanyakrisis moneter. Kalangan bawah “bergerak” karena ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonominya, serta sikap anti kemapanan, yang salah satunyatercetus dalam bentuk kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko sertapusat perdagangan terutama yang dimiliki oleh etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnyamantan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh pada sikap anti etnis Cina terutama yangmemiliki usaha. Orang Cina yang trauma akibat kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari keluar negara, dan sebagian ada yang melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnisCina di kota-kota besar banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminankeamanan dari mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan keadaan.


B.Peran dan Loyalitas Politik Etnis Cina di Indonesia.
    
Menurut Dr.Leo Suryadinata dalam bukunya “Dilema Minoritas Tionghoa”, yang
disana membagi zaman pergerakan di Indonesia sebelum kemerdekaan menjadi 2 tahap;tahap pergerakan proto-nasionalis (1908-1926), dan tahap nasionalisme Indonesiasesungguhnya (1927-1942), dimana konsep tentang negara bangsa, lambang, bendera, danlagu kebangsaan mulai munscul. Sebenarnya sejak tahap proto-nasionalis, warga minoritasTionghoa, dalam buku tersebut, sudah mulai tersisih dari pergerakan. Ditandai denganterbentuknya Tiong Hoa Hwee, organisasi pertama warga Tionghoa yang terbentuk 1900, 8tahun lebih awal dari Boedi Utomo yang terbentuk 1908.Saat penjajahan Belanda di Indonesia, Pemerintah Hindia-Belanda mengklasifikasikan penduduk Indonesia menjadi 3 bagian berdasarkan etnis atau bersifat rasial, dan masing-masing memiliki aturan perundang-undangan dari pemerintah Hindia-Belanda yang berbeda; Orang-orang Eropa (Belanda), Orang Timur Asing (termasuk wargaTionghoa,dan Arab), dan Pribumi (masyarakat Indonesia). Orang-orang Tionghoa,
sebenarnya pada sejak tahun 1900 tersebut telah „keluar‟ dari status Tionghoa Lokal dan
kembali menganggap diri mereka masih merupakan bagian warga Cina.Adapun pergerakan Indonesia yang ketika itu terdapat Indische Partij dan PartaiKomunis Indonesia hanya berlaku bagi keanggotaan „orang Indonesia Asli‟. Dan gerakan
Syarikat Islam malah bernada anti-Tionghoa. Pada saat itu warga Tionghoa secara politis memang tidak diberikan tempat yang layak hingga pada kebebasan berpolitik praktissekalipun. Namun, pada tahap kedua, menurut Dr. Leo Suryadinata, tahap nasionalissesungguhnya, dimana muncul Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang memberikankesempatan warga Tionghoa peranakan untuk bergabung sebagai anggota. Bahkan KetuaGerindo, Amir Syarifuddin mengatakan “bahwa kewarganegaraan seseorang tidak ditentukan oleh darah, warna kulit, atau bentuk muka akan tetapi oleh 3 faktor, yaitu: tujuan, cita-cita, dan keinginan yang kuat.‟(Suryadinata;1986). Namun muncul pro-kontra terkait kebijakanGerindo tersebut apalagi mengenai loyalitas warga Tionghoa kepada Indonesia. Terdapat insiden yang terjadi pada tahun 1918 yakni huru-hara anti-Tionghoa yangterjadi di Kudus, yang melibatkan Syarikat Islam, dengan warga Tionghoa setempat. Peristiwa tersebut menuai pro-kontra terkait sebab-musabat insiden itu terjadi, ada yangberpendapat etnis Tionghoa menjadi awal kerusuhan, dan etnis Tionghoa menyatakanSyarikat Islam bertanggung jawab atas insiden tersebut, dikarenakan perbedaan persepsimengenai “bangsa‟, dan pengaruh warga Tionghoa secara ekonomi memang sangat kuat kalaitu. Maka,terdapat suatu pendapat khusus mengenai alasan pendirian Syarikat Dagang Islam yang sebenarnya memiliki tujuan untuk memajukan perdagangan pribumi muslim dan berusaha mendobrak monopoli ekonomi warga Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa. Sebenarnya pada tahun itu pula, warga Tionghoa sudah diberikan kesempatan, mesti kecil untuk bergabung dalam keanggotaan Insulinde, Indische Partij yang berubah nama danbersikap sedikit longgar terhadap Tionghoa peranakan. Dan perlu diketahui pada saat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, seluruh perwakilan organisasi kepemudaan dari berbagai suku (kecuali Irian Jaya), hadir dalam pengesahan sidang kepemudaan Indonesia tersebut, namun disana tidak terdapat satu punorganisasi Tionghoa peranakan yang menghadiri sidang sumpah pemuda, melainkan seorang saja, yang bernama Kwee Thiam Hong alias Daud Budiman, yang mewakili Jong SumatranenBond. (Leo Suryadinata;1986). Analisa yang terbentuk pada saat zaman penjajahan secara politis, umumnyapergerakan Indonesia menolak minoritas Tionghoa dalam organisasi-organisasi politik, dansekaligus menolak mereka untuk masuk dalam pencitraan bangsa Indonesia.Perspektif yangdibangun mengenai bangsa Indonesia yang merupakan warga Indonesia asli. Menjadi buahpemikiran kaum nasionalis Islam hingga nasionalis sekuler. Cara pandang tersebut berimplikasi pada sistem kenggotaan partai atau organisasi pergerakan kala itu. Serta sikappribumi terhadap minoritas Tionghoa.Namun belakangan sikap tersebut berubah pasca kemerdekaan dan berimplikasi padasistem keanggotaan organisasi politik bagi warga Tionghoa.Pasca kemerdekaan Indonesia, setidaknya mulai muncul titik terang keikutsertaan wargaTionghoa peranakan dalam perpolitikan Indonesia. UUD 1945 menyebutkan secara eksplisitbahwa semua warga negara berkedudukan sama didepan hukum. Dan pada September 1946,Bung Hatta meyakinkan orang Tionghoa bahwa mereka mendapat kedudukan dan hak yangsama dengan orang Indonesia asli.Kebijakan politik Indonesia dalam menyikapi warga Tionghoa, sebenarnya tidak lepasdengan kondisi RRC sebagai negeri asal penduduk Tionghoa. Kondisi RRC yang ketika itudinilai sebagai kekuatan komunis terbesar di dunia, mendapat perhitungan yang matang dariIndonesia. Selain itu, pemerintah pasca kemerdekaan sedang gencar-gencarnya meminta dukungan dari beberapa negara untuk mengakui kedaulatan NKRI, negara yang pertamamengakui; Mesir dan India.Namun, peran politik warga Tionghoa sempat terjebak pada kondisi instabilitas keduanegara, terutama kecurigaan pemerintah RI akan kondisi dan status RRC sebagai negarakomunis. Terbukti, salah satunya disaat pemerintahan Hatta yang non-komunis mulaimencurigai aktifitas dikedutaan RRC di Indonesia, dengan duta besar pertama RRC saatitu,Wang Jen-Shu.Peran secara individual warga Tionghoa secara politis memang tidak begitu signifikanapalagi kalau dihadapakan pada kondisi pasang surut pemerintah RI dengan RRC,menyebabkan ruang politik warga Tionghoa masih terbatas pada organisasi bentukkanmereka sendiri yang sifatnya masih tradisional, dan bercorak ekonomi. Kebijakan pemerintahSoekarno dengan Jakarta-Peking-Pyongyang-nya dulu pun tidak berdampak cukup signifikanpada kesempatan warga Tionghoa masuk dalam jajaran kabinet maupun jabatan politislainnya. Bahkan kebijakan pemerintah dalam UUD 1945 menyatakan bahwa presidenIndonesia merupakan warga negara Indonesia asli. Berarti, secara tidak langsung menguburharapan warga keturunan untuk bercita-cita tinggi, menjadi presiden.
Orde baru sebagai rezim pemerintah berlabel republik terlama didunia, berhasilmembuka kran bagi warga Tionghoa perawakan untuk sedikit bernafas lega, mesti anginpasca PKI masih sesekali berhembus dan berimplikasi pada kehidupan mereka sehari-hari.Namun, hubungan antara pemerintah dengan para pengusaha kakap asal Tionghoamenjadikan mereka mendapat tempat yang layak dikalangan birokrasi pemerintah, dansedikit mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah, khususnya dibidang ekonomi.Sebelum akhirnya Orde Baru tumbang pada Mei 1998, dan berganti kepada erareformasi. Disana sudah muncul kepemimpinan Tionghoa peranakan yang berhasil menjabatsebagai salah satu menteri yang paling strategis. Kwik Kian-Gie, sosok warga Tionghoa yangberhasil menduduki jabatan strategis pada pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Sebenarnya, kalau dikatakan warga Tionghoa memiliki loyalitas terhadap Indonesia. Sudah terbukti dari sikap mereka turut dalam memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia pasca kemerdekaan. Para investor asing terutama Tionghoa. Sudah lama berkecimpung ditengah arus pasar bebas. Selain itu, cukup banyaknya warga Tionghoa yang mampu berasimilasi dalam kehidupan mereka dimasyarakat, hidup menyatu dengan masyarakat Indonesia. Mengakui kedaulatan Negara Indonesia dengan bersedia menjadi warga negara Indonesia dengan menggunakan prasyarat yang telah dibuat pemerintah. Loyalitas merekapun nampak pada kesediaan mereka menggunakan bahasa Indonesia dan segala atributnasional Indonesia, melakukan pendidikan yang bercampur dengan pribumi, sebelum akhirnya ada juga diantara mereka yang enggan bersekolah di negeri dan lebih memilih berpendidikan disekolah swasta, yang diketahui hanya merupakan bentuk pencarian kearah kualitas pendidikan formal. Saat ini tidak ada yang mesti dikhawatirkan mengenai kondisi warga Tionghoa yang sudah puluhan tahun berdomisili di negara Indonesia. Loyalitas tidak semata diukur dengan kemampuan mereka mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun Tionghoa menjadi sebuah unsur terpenting dalam proses pembangunan bangsa Indonesia kearah perubahan dan perbaikan. Itu merupakan bagian dalam proses mengisi pembangunan di Indonesia, dari aspek ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tionghoa menjadi identitas yang utuh dalam kebudayaan Indonesia, sebagai bagian multikulturalisme dalam berbangsa.



BAB III KESIMPULAN


Kedekatan Soeharto dengan para pengusaha Etnis Cina memang tidak selalu berkonotasi negatif. Ada beberapa pengusaha Etnis Cina yang dapat mengembangkan usahanya sendiri hingga berkembang pesat sehingga mampu menopang perekonomian Indonesia. Akan tetapi, kita tidak dapat menolak kenyataan bahwa dalam beberapa kasus,bisnis tidak dapat dipisahkan dari politik. Begitu juga sebaliknya. Berkembangnya perusahaan-perusahaan konglomerasi Etnis Cina di era Soeharto,adalah akibat birokrasi patrimonial yang berlaku saat itu. Dalam jenis pemerintahan patrimonial seperti itu, praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) hampir tidak dapat dihin dari lagi. Soeharto, yang saat itu adalah pemegang kekuasaan utama di Indonesia, menjadi patron paling kuat dan memberikan perlindungan kepada pengusaha, bawahan dan orang-orang yang loyal kepadanya. Sebagai balasan, faktor-aktor yang telah dilindungi Soeharto memberikan dukungan kepadanya. Praktek KKN dalam struktur birokrasi patrimonial tersebut berimplikasi pada pertumbuhan usaha – usaha Etnis Cina di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun.
Sebagai pengusaha yang terkenal paling dekat dengan Soeharto, Liem Siong Liong berhasil membawa Grup Salim menjadi grup konglomerat terbesar di Indonesia saat itu, bahkan di AsiaTenggara. Sebagai grup bisnis dengan skala besar, tentu Grup Salim dan konglomerat lainnya juga membawa implikasi yang positif terhadap Indonesia. Salah satunya adalah, mereka mampu bersaing di pasar global karena memiliki sarana dan dana yang cukup. Namun tidak sedikit pula dampak negatif dari dukungan pemerintah terhedap usaha-usaha Etnis Cina yang berlebihan ini. Salah satunya, para Pengusaha Besar adalah salah satu aktor krusial yang melatarbelakangi krisis 1997. Karena ingin mengembangkan imperiumbisnis mereka dengan cara yang instan, beberapa pengusaha mulai meminjam modal dari luar negeri tanpa banyak pertimbangan. Dampak dari kecerobohan mareka terjadi pada tahun1997, ketika Indonesia diterpa krisis moneter. Ketika nilai rupiah terus merosot dan merekakesulitan mengembalikan pinjaman, mereka mulai menjual sahamnya. Sehingga permintaanakan valuta asing berubah menjadi rush pada 14 Agustus 1997.
 


Musik Tradisional Simalungun

PENDAHULUAN
    Simalungun adalah termasuk salah satu dari lima kelompok etnis Batak lainnya yang terdiri dari Toba, Mandailing / Angkola, Simalungun, Karo dan Pakpak/Dairi (Bangun, 1993 : 94). Secara administratif, etnis Simalungun berada di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.
    Orang Simalungun memiliki musik tradisional yang secara turun-temurun digunakan dan berfungsi dalam kehidupan sehari-harinya. Musik tradisonal Simalungun diwariskan secara turun-temurun pula dan secara lisan disampaikan kepada suatu generasi ke generasi berikutnya.
    Berbicara mengenai musik, Merriam menyebutnya sebagai suatu lambang dari hal-hal yang berkaitan dengan ide-ide, maupun perilaku suatu masyarakat (Merriam, 1964 : 32-33). Musik merupakan bagian dari kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986 : 203-204), dan merupakan salah satu kebutuhan manusia secara universal (Boedhisantoso, 1982 : 23;Melalotoa, 1989 : 27) yang tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sehubungan dengan pendapat di atas, tulisan ini menjelaskan secara umum musik tradisional Simalungun sebagai bagian unsur kebudayaan Simalungun yang meliputi :
1.    Alat-alat Musik Tradisional Simalungun
2.    Gonrang Sidua-dua Simalungun, dan
3.    Gonrang Sipitu-pitu/Gonrang Bolon Simalungun







BAB I. Alat –alat Musik Tradisonal Simalungun

Konsep musik dari suatu kelompok etnis dengan kelompok etnis lainnya berbeda, bahkan di antara satu kelompok etnispun konsep musiknya berbeda. Demikian halnya musik tradisional Simalungun memiliki konsep musik yang berbeda.
Konsep pertama dikemukakan bahwa yang tergolong ke dalam alat-alat musik tradisonal Simalungun ialah alat-alaat musik yang dipertunjukkan di depan publik dan sudah lama dikenal masyarakat Simalungun; dan konsep kedua berpendapat bahwa yang tergolong ke dalam alat-alat musik tradisional Simalungun ialah alat-alat musik yang dimainkan di dalam suatu desa, bukan ladang.
Dengan mengemukakan pendapat di atas, banyak alat-alat musik yang tidak tergolong ke dalam alat-alat musik tradisional Simalungun. Contoh : ole-ole, gerantung, dan ingon-ingon adalah alat-alat musik yang dimainkan di ladang, oleh karena itu alat-alat musik tersebut tidak tergolong alat-alat musik tradisional Simalungun, oleh karena ole-ole, gerantung dan ingon-ingon dapat menghasilkan bunyi dan sengaja di buat sebagai ungkapan perasaaan dan sebagai hiburan. Walaupun alat-alat musik tersebut ditempatkan di ladang, namun fungsinya adalah sebagai ungkapan emosional dan hiburan di ladang sebagai pelepas lelah.
Demikian juga Dewan Kesenian Simalungun-Siantar dalam bukunya Seminar Kecil Kesenian Siamalungun menyebutkan bahwa ole-ole tidak dimasukkan ke dalam alat-alat musik tradisional Simalungun.
Sebagiamana kelompok etnis lainnya di dunia mengklasifikasikan/menggolongkan alat-alat musiknya ke dalam beberapa bagian. Demikian juga cerdik-pandai dan pengetua budaya Simalungun mangklasifikasikan/menggolongkan alat-alat musik tradisonal Simalungun ke dalam beberapa bagian. Pengklasifikasian/penggolongan berdasarkan cara memainkan semata-mata, yang di bagi atas empat bagian:
1.    Alat-alat tiup yang terdiri dari: ole-ole, saligung, sordam, sulim, sarunei buluh, sarunei bolon dan tulila.
2.    Alat gesek, terdiri dari: arbab
3.    Alat-alat petik, terdiri dari: husapi dan hodong-hodong.
4.    Alat-alat pukul, terdiri dari: gonrang sidua-dua, gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon, mongmongan, sitalasayak, ogung, gerantung dan jadjaulu/tengtung.

Sebagai pekerja suatu museum, Mahilon sudah membuat klarifikasi/golongan alat-alat musik yang kemudian disempurnakan oleh Cur Sahhc dan Erich Von Hornbostel. Pengklasifikasian alat-alat musik berdasarkan karakter getaran bunyi yang ditentukan oleh penggetar utama. Mereka menggolongkan ke dalam empat bagian:
1.    Idiofon
2.    Aerofon
3.    Membaranofon, dan
4.    Kordofan
Berdasarkann pengklasifikasian/penggolongann alat-alat musik di atas, maka alat-alat musik tradisional Simalungun dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.    Klasifakasi/Golongan Idiofon
a.    Mongmongan, yaitu alat musik yang terbuat dari bahan metal (kuningan atau besi) yang mempunyai pencu (bossed gong). Terdiri dari dua buah : mongmongan sibanggalan dan mongmongan sietekan yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon. Mongmongan dapat juga dipergunakan untuk memanggil massa di suatu desa.
b.     Ogung, yaitu alat musik yang terbuat dari bahan metal (kuningan atau besi) yang mempunyai pencu (bossed gong). Terdiri dari dua buah : ogung sibanggalan dan ogung sietekan yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.
c.    Sitalasayak, adalah alat musik sejenis simbal yang terbuat dari bahan metal ( kuningan atau besi). Terdiri dari dua bilah yang sama bentuknya yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon. Pada saat sekarang sudah jarang dipergunakan dalam seperangkat gonrang.
d.    Gerantung, adalah alat musik yang terbuat dari kayu dan mempunyai kotak resonator (trough resonator). Kotak resonator ada yang terbuat dari kayu, ada yang langsung ditempatkan di atas lobang tanah sebagai resonatornya. Gerantung terdiri dari tujuh bilah mempunyai nada yang berbeda. Gerantung biasanya dimainkan sebagai hiburan ketika istirahat di ladang sebagai pelepas lelah dan sebagai bahan pelajaran untuk menabuh gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.

2.    Klasifikasi/Golongan Aerofon
a.    Sarunei bolon, suatu alat musik yang mempunyai dua lidah (dable reed) sebagai lobang hembusan yang dipergunakan sebagi pembawa melodi dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon. Badannya terbuat dari silastom, nalihnya terbuat dari timah, tumpak bibir terbuat dari tempurung, lidah terbuat dari daun kelapa dan sigumbang terbuat dari bambu. Sarunei bolon mempunyai enam lobang sebelah atas dan satu lobang sebelah bawah.
b.    Sarunei buluh, adalah suatu alat musik yang mempunyai lobang hembusan yang terdiri dari satu lidah (single reed) yang memukul badannya sendiri. Sarunei buluh terbuat dari bambu, mempunyai tujuh lobang suara, sebelah atas enam lobang dan sebelah bawah satu lobang.
c.    Tulila, suatu alat musik sejenis recorder yang terbuat dari bambu mempunyai satu lobang hembusan dengan blok dan mempunyai lobang suara enam buah diletakkan sebelah atas dan satu lobang pembelah udara yang ditempatkan pada bagian bawah. Tulila dimainkan secara vertical (vertical flute).
d.     Sulim, adalah suatu alat musik sejenis flute yang terbuat dari bambu. Mempunyai lobang hembusan, enam buah lobang suara dan satu blok.
e.    Sordam, adalah suatu alat musik sejenis flute yang dimainkan miring (oblique flute) yang terbuat dari bambu. Memppunyai lima lobang suara dan lobang hembusan sama dengan lobang pembelah udara.
f.    Saligung, adalah suatu alat musik sejenis flute yang tebuat dari bambu.mempunyai empat lobang suara, satu lobang hembusan dan lobang pembelah udara. Berbeda dengan alat tiup lainnya, saligung ditiup oleh hidung, oleh karena itu bunyi yang dihasilkannya lembut.
g.    Ole-ole, adalah sebuah alat musik yang mempunyai lobang hembusan terdiri dari satu lidah (single reed) yang memukul badannya sendiri. Badannya terbuat dari batang padi dan resonatornya terbuat dari daun enau atau daun kelapa.
h.    Hodong-hodong, adalah alat musik sejenis genggong yang terbuat dari pelepah enau. Sebagai resonatornya adalah mulut yang dapat menghasilkan nada. Hodong-hodong dipergunakan sebagai alat komunikasi seorang pemuda kepada kekasihnya dan sebgai hiburan ketika senggang.
i.    Ingon-ingon, adalah alat musik di ladang yang ditiup oleh angin. Alatnya terbauat dari sebilah kayu sebagai kincir dan bambu sebagai penghasil bunyi. Angin memutar kincir sehingga bambu dapat berbunyi dengan merdu. Biasanya di ladang terdapat beberapa buah ingon-ingon dengan ukuran yang berbeda pula. Ketika ingon-ingon bersama-sama berbunyi terdengar bunyi yang indah.

3.    Klasifikasi/Golongan Membranofon
a.    Gonrang Sidua-dua, adalah gendang yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua. Badannya terbuat dari kayu ampiwaras dan kulitnya terbuat dari kulit kancil atau kulit kambing. Gonrang sidua-dua terdiri dari dua buah gendang, oleh karena itu diberi nama gonrang sidua-dua.
b.    Gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon, adalah gendang yang terdiri dari satu kulit sebelah atas sedangkan sebelah bawah ditutup dengan kayu. Gendang terdiri dari tujuh buah yang badannya terbuat dari kayu dan kulitnya terbuat dari kulit lembu, kerbau atau kambing. Gendang ini dipergunakan dalam seperangkat gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.

4.    Klasifikasi/Golongan Kordofon
a.    Arbab, adalah alat musik yang terbuat dari : tabung resonator dari labu atau tempurung, leher terbuat dari kayu atau bambu, lempeng atas terbuat dari kulit kancil atau kulit biawak, senar terbuat dari benang dan alat penggesek terbuat dari ijuk enau yang masih muda.
b.    Husapi, adalah alat musik sejenis lute yang mempunyai leher. Terbuat dari kayu yang mempunyai dua senar. Bagian badan dan leher dihiasi gambar manusia.
c.    Jatjaulul/Tengtung, adalah alat musik yang terbuat dari bambu dengan senarnya sebanyak dua atau tiga buah, dimainkan dengan memukul senarnya. Biasanya dimainkan di ladang sebagai hiburan sambil pelepas lelah.



















BAB II. Gonrang Sidua-dua Simalungun

Gonrang sidua-dua adalah seperangkat musik tradisonal Simalungun yang terdiri dari satu bauh sarunei bolon, dua buah gonrang, dua buah mongmongan dan dua buah ogung.
Masyarakat Simalungun ada juga menyebutnya gonrang dagang. Istilah ini diambil dari “mardagang”, artinya merantau atau berpindah-pindah. Masyarakat Simalungun pada mulanya berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang baru untuk membuka perladangan. Mereka juga turut membawa gonrang.
Gonrang sidua-dua sudah memasyarakat di tengah-tengah Simalungun, oleh karena itu setiap daerah yang ada di Simalungun pada umumnya memiliki gonrang sidua-dua. Alat-alat musik gonrang sidua-dua dari daerah ke daerah lainnya ada yang sama bentuk dan ukurannya, ada pula yang berbeda, oleh karena itu nada-nada yang dihasilkan alat musik tersebut ada yang sama dan ada pula yang berbeda.
Gual atau lagu-lagu gonrang sidua-dua dibedakan atas dua bagian:
1.    Topapon, yaitu gual yang menggunakan dua buah gendang dan pola ritmenya adalah sama.
2.    Sitingkahon/siumbakon, yaitu gual yang menggunakan dua buah gendang dan masing-masing mempunyai pola ritme yang berbeda. Salah satu dari gendang sebagai pembawa ritme dasar dan yang lain sebagai peningkah/pagumbak. Apabila pembawa ritme dasar oleh gonrang sibanggalan (1) dan gonrang sietekan (2) pembawa ritme yang lain, maka disebut sitingkahon. Apabila pembawa ritme dasar oleh gonrang sietekan (2) dan gonrang sibanggalan (1) pembawa ritme yang lain, maka disebut siumbakon.
Panggual (pemain) gonrang sidua-dua terdiri dari lima orang : satu orang pemain sarunei, dua orang penabuh gendang, satu orang penabuh mongmongan dan satu orang penabuh ogung.
Pahata (membunyikan) gonrang sidua-dua mempunyai aturan dalam membunyikannya. Gual pertama dalam gonrang sidua-dua adalah gual parahot. Membunyikan gual parahot disebut “mananti”, yaitu suatu acara pembukaan dalam setiap membunyikan gonrang sidua-dua.
Menurut kepercayaan terdahulu, mananti adalah acara pembukaan dalam setiap membunyikan gonrang sidua-dua untuk mengusir roh-roh jahat agar tidak menggangu jalannya upacara yang akan dilaksankan. Dalam acara mananti ini tidak diperkenankan untuk menari.
Setelah acara mananti selesai, dilanjutkan dengan gual berikutnya sesuai dengan maskud dan tujuan upacara diadakan.
Untuk mengakhiri suatu upacara, diadakan lagi suatu acara khusus yang disebut “manamsam”, yaitu suatu acara penutup untuk menyatakan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan roh-roh baik atas berhasilnya/telah selesainya suatu upacara dilaksanakan. Gual dalam acara manamsam ini juga gual parahot dan tidak diperkenankan untuk menari.
Setelah suku Simalungun memeluk agama, Kristen, Islam,, dan agama lainnya, tidak menerima prinsip kepercayaan terdahulu dalam acara mananti dan manamsam. Tetapi masih melaksanakan acara tersebut dalam acara pembukaan dan penutup ketika membunyikan gonrang sidua-dua. Prinsipnya hanyalah sebagai acara pembukaan dan acara penutupan dengan tidak mengandung unsur-unsur kepercayaan terdahulu.
Pada saat sekarang, pahata gonrang sidua-dua digunakan dalam acara adat dan acara malas ni uhur dan masih ada untuk upacara religi. Oleh karena itu sesuai dengan kebiasaan yang ada dalam masyarakat Simalungun, penyajian gual yang ditampilkan dalam upacara adat sering menampilkan tiga gual:
1.    Gual rambing-rambing
2.    Gual syur matua
3.    Gual olob-olob
Sebagai tambahan yaitu gual surung dayung dan gual sampang apuran. Berikutnya ditambah lagi gual ilah Hinalang dan gual haro-haro. Kebiasaan tersebut menampilkan tiga gual, lima gual dan tujuh gual yaitu dengan menampilkan bilangan ganjil.
Di samping gual adat, masih ada gual untuk doding-doding, yaitu gual mengiringi doding-doding. Gual ini hanya menyajikan pola ritme saja dan memilih gual yang cocok untuk mengiringi doding-doding. Biasanya gual untuk mengiringi doding-doding ada tiga gual, yitu:
1.    Gual ting-ting katipak
2.     Gual sakkiting, dan
3.    Gual haro-haro

Penggunaan Gonrang Sidua-dua
    Dalam upacara religi, gonrang sidua-dua digunakan dalam acara :
1.    Manombah/memuja, yaitu suatu acara mendekatkan diri pada sembahan/pujaannya.
2.    Maranggir, yaitu suatu acara untuk memversihkan badan (menguras badan) dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik maupun mebersihkan diri dari gangguan roh-roh jahat.
3.    Ondos hosah, yaitu suatu acara khusus yang dilakukan suatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara bahaya.
4.    Manabari/manulak bala, yitu mengusir mara bahaya dari suatu desa atau dari diri seseoarang.
5.    Marbah-bah, yaitu suatu acara untuk menjauhkan penyakit dari seseorang atau untuk menunda kematian seseorang dengan jalan membuat patung yang terbuat dari pisang sebagai pengganti manusia tadi,
6.    Mangindo pasu-pasu, yaitu suatu acara meminta berkat dari Tuhannya agar tetap dalam keadaan sehat dan mendapat rejeki.
7.    Manogu losung/hayu, yaitu suatu acara untuk mengambil kayu untuk dijadikan lumping atau tiang rumah yang dilaksanakan secara gotong-royong.
8.    Rondang bintang, yaitu suatu acara tahunan yang diadakan suatu desa setelah mendapat panen. Biasanya muda-mudi menggunakan kesempatan mencari jodohnya.

Dalam upacara adat, gonrang sidua-dua diguanakan dalam acara :
1.    Mamongkot rumah, yaitu acara untuk memasuki rumah.
2.    Patuekkon, yaitu acara member nama seseorang.
3.    Marhajabuan, yaitu acara pemberkatan perkawinan.
4.    Mangiligi, yaitu acara yang diadakan untuk menghormati seseorang yang meninggal dunia uzur usia (sayur matua).
5.    Bagah-bagah ni sahalak, yaitu acara yang dilaksanakan seseorang oleh karena terniat hattinya untuk membuat pesta.

Dalam acara malasni uhur, gonrang sidua-dua digunakan dalam acara :
1.    Mangalo-alao tamu, acara untuk menyambut tamu dari lauar daerah.
2.    Marialh, acara muda-mudi menyanyi bersama-sama yang diiringi gonrang sidua-dua.
3.    Pesta malasni uhur, acara kegembiraan yang dilaksanakan suatu keluarga, keluarga tersebut mengadakan acara menari bersama yang diiringi gonrnag sidua-dua.
4.    Peresmian bangunan-bangunan.
5.    Hiburan, dan lain-lain.












III.    Gonrang Sipitu-pitu/Gonrang Bolon Simalungun

Gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon adalah seperangkat musik tradisional Simalungun yang terdiri dari satu buah sarunei bolon, tujuh buah gonrang, dua buah mongmongan dan dua buah ogung.
Nama dari seperangkat musik tersebut sering disebut gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon, oleh karena kedua nama tersebut sudah menjadi nama yang umum dikenal masyarakat Simalungun. Pemakaian nama gonrang sipitu-pitu berdasarkan adanya tujuh buahh gendang dalam seperangkat musik. Pemakaian nama tersebut karena berdasarkan alat musik tersebut merupakan alat musik terbesar dari seluruh alat-alat musik tradisonal Simalungun, dan upacara yang diiringi gonrang bolon adalah upacara yang besar pula. Bolon artinya terbesar atau raya.
Gonrang pertama dimulai dari yang terbesar adalah sebagai pangindungi. Gonrang kedua, ketiga, keempat dan kelima disebut  sebagai panirang. Gonrang keenam dan ketujuh disebut panintingi.
Gonrang sebagai pangindungi adalah sebuah gonrang yang menyajikan pola ritme dasar yang diulang terus menerus. Gonrang sebagai panirang adalah beberapa bauah gonrang yang dibunyikan secara bergantian dan menyajikan ritme yang berbeda dengan ritme dasar. Panirang artinya pemisah.
Penabuh seperangkat gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon terdiri dari: parsarunei satu orang, panggual tiga orang (satu orang sebagai pangindungi, satu orang sebgai panirang dan satu orang sebagai paningtingi), parmongmong satu orang dan parogung satuu orang.
Pahata gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon sama aturannya dengan gonrang sidua-dua, yaitu dengan mengadakan acara mananti sebagai acaara pembukaan dan manamsam sebagai acara penutup.
Pada saat sekarang ini, pemakaian gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon dibedakan berdasarkan pengguanaanya. Kalau gonrang tersebut digunakan untuk upacara adat malas ni uhur, maka gendang yang dipakai hanya enam buah. Kalau digunakan untuk upacara mandingguri, maka gendang yang dipakai terdiri dari tujuh buah. Masyarakat Simalungun sering menyebut gonrang bolon untuk kepentingan upacara adat malas ni uhur (sukaria) dan untuk upacara mandingguri (berduka cita).



















PENUTUP

Sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan bahwa tulisan ini menjelaskan secara umum mengenai music tradisional Simalungun. Namun secara mendalam dapat dibaca dalam hasil  penelitian yang merupakan penelitian lapangan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat sebagai pengenalan awal terhadap music tradisional Simalungun.




Sejarah lahirnya kota Siantar-Simalungun

BAB 1 PENDAHULUAN

Sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajan Siantar. Pematangsiantar yang berkedudukan di pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti keturunan marga Damanik yaitu Tuan Sangnawaluh Damanik, yang memegang kekuasan sebagai raja tahun 1906.
Disekitar Pulau Holing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk diantaranya Kampung Suhi Haluan, Siantar Kahean, Pantoan,Suhi Bah Bosar,dan Tomuan.
Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum Kota Pematangsiantar yaitu :
1.Pulau Holing menjadi kampung pematang.
2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota.
3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, kampung melayu, Martoba,Sukadame, dan Bane.
4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang.
Setelah Belanda memamusuki daerah Sumatera Utara, Simalungun menjadi Daerah kekuasaan Belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan raja-raja. Controleur Belanda yang semula berkedudukan di perdagngngan pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru, Bangsa Cina mendiami Kawasan Tiombang Galung dan Kampung melayu.
Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian Pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Stad Blad No.285 Pematangsiantar berubah menjadi Geemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan Stad Blad No.717 berubah menjadi Geemente yang mempunyai Dewan.
Pada jaman Jepang berubah menjadi Siantar Estate dan Dewan dihapus. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Pematangsiantar kembali menjadi daerah Otonomi. Berdasarkan UU No.22/1948 status geemente menjadi kota kabupaten Simalungun dan Walikota di rangkap oleh Bupati Simalungun sampai 1957.
 

BAB 2 ISI


Sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajan Siantar. Pematangsiantar yang berkedudukan di pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti keturunan marga Damanik yaitu Tuan Sangnawaluh Damanik, yang memegang kekuasan sebagai raja tahun 1906. Disekitar Pulau Holing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk diantaranya Kampung Suhi Haluan, Siantar Kahean, Pantoan,Suhi Bah Bosar,dan Tomuan.
Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum Kota Pematangsiantar yaitu :
1. Pulau Holing menjadi kampung pematang
2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota
3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, kampung melayu, Martoba,Sukadame, dan     Bane.
4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang.

Setelah Belanda memamusuki daerah Sumatera Utara, Simalungun menjadi Daerah kekuasaan Belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan raja-raja. Controleur Belanda yang semula berkedudukan di perdagngngan pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru, Bangsa Cina mendiami Kawasan Tiombang Galung dan Kampung melayu.

Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian Pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Stad Blad No.285 Pematangsiantar berubah menjadi Geemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan Stad Blad No.717 berubah menjadi Geemente yang mempunyai Dewan.
Bulan April memiliki arti dan berkah tersendiri bagi warga Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar. Karena setiap bulan April, kedua daerah ini merayakan hari jadinya masing-masing, meski hari dan tanggalnya berbeda.Dari perhitungan angka yang ditetapkan, Kabupaten Simalungun lebih dulu ada dari Kota Pematangsiantar. Hanya saja ada perbedaan perhitungan tahun kesepakatan soal tanggal kelahiran. Peringatan hari jadi Kota Pematangsiantar dihitung mulai dari kelahiran Raja Siantar Sangnawaluh Damanik, 24 April 1871. Sementara hari jadi Kabupaten Simalungun, tahun kelahirannya bukan dihitung dari kelahiran seorang raja. Tetapi dihitung berdasarkan tanggal pembuatan Pustaha Laklak (pustaka kuno) yang ditemukan di Talang Tuo Palembang (Sumatera Selatan), yakni 11 April 1833. Meski perhitungan dan tanggal penetapan tersebut masih saja berpeluang untuk dikritisi kembali. Merujuk fakta sejarah, cikal-bakal Simalungun diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Nagur, sekitar tahun 500-an. Rajanya bermarga Damanik. Sementara marga-marga Simalungun lainnya, diperkirakan baru ada di wilayah ini setelah tahun 1367 pada zaman Kerajaan Purba Desa Nauwaluh (Batak Timur Raya). Masuknya marga-marga lain ini jelas beragam versi sejarahnya. Namun salah satunya mengungkapkan adanya keterkaitan etnik Karo, Melayu dan Pakpak dalam perkembangan marga Simalungun. Khususnya sejak perkembangan Kerajaan Batak Timur Raya. Sedangkan marga-marga Toba, Mandailing baru masuk ke Simalungun sekitar tahun 1912 pada masa penjajahan Belanda. Terutama saat pembukaan persawahan Bah Kora I di Siantar Sawah sekarang. Simalungun sebelumnya terdiri dari beberapa wilayah kerajaan. Termasuk Kerajaan Siantar yang akhirnya menjadi ibukota Kabupaten Simalungun. Dalam perjalanan waktu, Kota Pematangsiantar akhirnya berdiri sendiri dan berkembang menjadi sebuah daerah otonom yang terpisah dari Kabupaten Simalungun. Perkembangan itu sarat dengan perjuangan-perjuangan serta pergumulan-pergumulan silih berganti, termasuk pada masa penjajahan Belanda, Jepang, zaman kemerdekaan, orde baru hingga era reformasi sekarang.
Tahun 1871 dianggap sebagai perhitungan tahun berdirinya Kota Siantar, hingga sekarang usianya sudah 136 tahun. Meskipun sebenarnya dari persfektif historis, tahun 1871 yang diabadikan menjadi tahun kelahiran Kota Siantar, masih tetap bisa dikritisi banyak orang. Meskipun Pemko dan DPRD Siantar telah sepakat membuat tahun kelahiran Sangnawaluh itu menjadi kelahiran Siantar. Hitungannya, saat dinobatkan menjadi Raja Siantar pada tahun 1888, usianya sudah mencapai 17 tahun.
Yang jadi soal, jika tahun itu yang jadi acuan, berarti zaman Kerajaan Marropat, di mana Siantar merupakan salah satu di dalamnya jadi tak ikut dihitung. Padahal Kerajaan Siantar sudah ada sebelum Raja Sangnawaluh dilahirkan. Karena pada tahun 1833 saja, saat pembentukan Kerajaan Marropat, Siantar sudah ikut di dalamnya. Meskipun Kerajaan Marropat (Nan Empat) sendiri ternyata tak bertahan lama, karena satu diantaranya yakni Kerajaan Silou kemudian pecah menjadi empat Kerajaan, yang terdiri dari Dolok Silou, Raya, Purba dan Silimakuta. Hal ini mengakibatkan pada tahun 1904, di Simalungun telah ada 7 Kerajaan yang memiliki kedaulatan masing-masing. Berdirinya Kerajaan Marpitu boleh dikatakan merupakan kelanjutan dari Kerajaan Marropat sebelumnya. Saat zaman Kerajaan Marpitu berkuasa, Kolonial Belanda sudah semakin menancapkan kuku kekuasaannya di Simalungun, termasuk mempengaruhi Raja-raja Simalungun agar mau tunduk kepada Belanda. Tentu saja, kehendak Belanda ini mendapat perlawanan dari Raja-raja Simalungun. Masing-masing Kerajaan Marpitu itu adalah, Kerajaan Dolok Silou, Kerajaan Silimakuta, Kerajaan Raya, Kerajaan Purba, Kerajaan Siantar, Kerajaan Panei dan Kerajaan Tanah Jawa. Setiap kerajaan ini melaksanakan tugas pemerintahannya dipimpin seorang Raja, dibantu Dewan Kerajaan yang disebut Harajaan, yaitu semacam kabinet yang terdiri dari pembesar negeri. Kepada mereka diberikan gelar bervariasi menurut kebiasaan masing-masing kerajaan.
Kerajaan Siantar sendiri waktu itu sudah dipengaruhi kekuasaan Belanda, hingga akhirnya menandatangani Perjanjian Pendek dengan Belanda (Korte Verkalring). Namun dari berbagai sumber sejarah Simalungun diketahui, Sangnawaluh bukanlah merupakan pendiri Kerajaan Siantar tetapi penerus tahta kerajaan. Karena Sangnawaluh sudah merupakan pewaris pendahulunya (ketujuh) yang menjadi Raja Siantar pada tahun 1888. Hal ini merujuk dari silsilah Kerajaan Siantar, diketahui Rajanya secara berturut-turut adalah Raja Naihorsik – Raja Hitam – Raja Nai Halang – Raja Namaringis – Raja Namartuah – Raja Mopir – Raja Sangnawaluh – Tuan Torialim (Tuan Marihat) dan Tuan Riahta Damanik (Tuan Sidamanik). Kedua Raja Siantar terakhir inilah yang kemudian melakukan Perjanjian Pendek dengan Belanda tanggal 16 Oktober 1907. Seterusnya, Kerajaan Siantar dipangku oleh Tuan Riah Kadim (Tuan Waldemar) dan terakhir hingga meletusnya Revolusi Sosial di Simalungun 1946, Kerajaan Siantar dipimpin Tuan Sawadim Damanik. Sebenarnya dapat disebutkan, bahwa sejak adanya Perjanjian Pendek antara Raja-raja Simalungun dengan Belanda, berakhir pulalah kekuasaan Raja-raja di Simalungun sekitar tahun 1907. Karena sebelumnya Kerajaan Panei, Raya, Silimakuta, Purba, Tanah Jawa, Dolok Silou sudah lebih dulu menandatanganinya.
Adapun isi Perjanjian Pendek itu antara lain: Raja harus mematuhi semua perintah dan peraturan Gubernur General, Raja harus mengakui kerajaannya menjadi bagian kerajaan Hindia Belanda, Raja tidak boleh mengadakan hubungan dengan pihak asing, Raja tidak memiliki wilayah laut dan pantai, Struktur pemerintahan berlaku hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan peradaban Belanda serta segala sesuatu harus mendapatkan persetujuan Residen atau wakilnya. Akibat dari perjanjian tersebut, makin lemahlah kedudukan Raja-raja Simalungun. Hal ini makin mempercepat arus penguasaan wilayah Simalungun oleh Belanda yang kemudian menjadikannya daerah perkebunan. Karena memang, kondisi geografis tanah Simalungun sangat memungkinkan untuk dijadikan lahan perkebunan. Controleur Belanda yang sempat berkedudukan di Perdagangan pada tahun 1907 di pindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Kota Pematangsiantar mulai berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru. Apalagi, dibukanya jalan-jalan baru ke luar daerah Simalungun, makin membuat banyak orang berlomba-lomba hijrah ke daerah ini. Tahun-tahun berikutnya, para pemodal asing membuka lahan-lahan perkebunan di daerah-daerah sekitar Pematangsiantar.
Hampir bersamaan dengan pembukaan perkebunan tersebut, pembangunan irigasi juga semakin diintensifkan, sering dengan makin meningkatnya para petani yang datang dari daerah Tapanuli. Meskipun perpindahan itu sempat terkendala beberapa waktu akibat berjangkitnya penakit kolera yang menimbulkan banyak korban jiwa, bahkan menyebabkan sebagian ada yang kembali ke daerah Tapanuli.Dibukanya jalan raya dari Balige ke Pematangsiantar pada athun 1915 memberi arti tersendiri bagi orang-orang yang akan memasuki Simalungun atau daerah lainnya di Sumatera Timur, sekaligus memberikan kemudahan bagi mereka yang akan pindah. Terbukanya hubungan lalu-lintas sampai ke Kota medan pada tahun-tahun berikutnya menyebabkan daerah Pematangsiantar menjadi kota transit bagi orang-orang yang melintas untuk mencari pekerjaan. Akibatnya, Kota Pematangsiantar menjadi tempat berbagai suku bangsa, dan itu berkenaan dengan orang-orang Toba, Karo Mandailing, Jawa, Cina dan sebagainya. Berdasarkan Stadblad Belanda Nomor 285 tanggal 1 Juli 1917, Pematangsiantar kemudian berubah menjadi Gemeente yang punya kewenangan otonomi sendiri. Sejak 1 Januari 1939 berdasarkan Stad Blad Nomor 717 Kota Siantar berubah menjadi Gemeente yang punya Dewan Kota. Pada masa pendudukan Jepang berubah menjadi Siantar State dan menghapuskan Dewan Kota.
Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor 22/1948, status Gemeente dirubah menjadi ibukota Kabupaten Simalungun dan walikotanya dirangkap Bupati Simalungun hingga tahun 1957. Berdasarkan UU Nomor 1/1957 berubah menjadi Kotapraja penuh. Dengan keluarnya UU Nomor 18/1965 berubah menjadi Kotamadya dan berdasarkan UU Nomor 5/1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, resmi menjadi Kotamadya Pematangsiantar.
Sejak pasca kemerdekaan 1945 hingga sekarang, kota seluas 79,97 Km persegi yang sekarang terbagi dalam 7 kecamatan dan 43 kelurahan ini, telah 23 berganti Kepala Daerah. Masing-masing adalah: Tuan Maja Purba (1945), Muhammad Kasim (1946-1947), Forensius Lumbantobing (1950-1952), Tuan Maja Purba (1952-1956), HP Situmorang (menjabat saat Tuan Maja Purba di Ampera), Farel Pasaribu (1954-1956). Mereka ini merangkap sebagai Bupati Simalungun. Setelah pemisahan dari Kabupaten Simalungun, Walikota pertama adalah OKH Salamuddin (1956-1957), dilanjutkan Jamaluddin Tambunan (1957-1959), Rakoetta Sembiring (1960-1964), Abner Situmorang (1964), Pandak Tarigan (1965), Zainuddin Hasan (1965), Tarif Siregar (1965-1966), Drs Mulatua Pardede (1966-1968), Letkol Laurimba Saragih (1968-1974), Kolonel Sanggup Ketaren (1974-1979), Kolonel Drs MJT Sihotang (1979-1984), Drs Djabanten Damanik (1984-1989), Drs H Zulkifli Harahap (1989-1994), Drs Abu Hanifah (1994-1999) Ir Marsal Hutagalung (Pelaksana Walikota mulai Juni 1999-Januari 2000), Drs Makmur Saleh Pasaribu (Pelaksana Walikota Januari- Juni 2000) dan Drs Marim Purba/Ir Kurnia Rajasyah Saragih (2000-2005).
Namun Oktober 2004 Marim Purba diberhentikan sementara dan jabatannya dilaksanakan Wakil Walikota. Selama setahun diberhentikan, Marim sempat diangkat kembali namun tak berapa lama kemudian, Pebruari 2005 dinonaktifkan kembali. Ini tentu sejarah tersendiri bagi warga Siantar. Karena seorang Walikota 2 kali dinonaktifkan dalam 1 kali masa jabatan. Sekarang, Kota Siantar dipimpin Walikota/Wakil Walikota, Ir RE Siahaan/Drs. Imal Raya Harahap, hasil Pilkada langsung untuk periode (2005-2010). Selain itu telah terjadi 9 kali pergantian Pimpinan DPRD Siantar, yakni PH Marpaung (1957-1961), Zainuddin Hasan (1961-1967), Ratam Damanik (1967-1968), AY Purba (1968-1987), Suparmin (1977-1982), H Laurimba Saragih (1987-1992), H Mariaman Naibaho (1992-1997), Drs Dervin Simbolon (1997-1999) dan Bagian Sitopu (1999-2004) dan Lingga Napitupulu (2004-2009).
Pada jaman Jepang berubah menjadi Siantar Estate dan Dewan dihapus. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Pematangsiantar kembali menjadi daerah Otonomi. Berdasarkan UU No.22/1948 status geemente menjadi kota kabupaten Simalungun dan Walikota di rangkap oleh Bupati Simalungun sampai 1957.Berdasarkan UU No1/1957 berubah menjadi Kota Praja penuh dan dengan keluarnya UU No.18/1965 berubah menjadi Kotamadya, dan dengan keluarnya UU No.5/1974 Tentang pokok-pokok pemerintah di daerah berubah menjadi daerah tingkat II Pematangsiantar sampai sekarang.
BAB 3 PENUTUP

Bulan April memiliki arti dan berkah tersendiri bagi warga Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar. Karena setiap bulan April, kedua daerah ini merayakan hari jadinya masing-masing, meski hari dan tanggalnya berbeda.Dari perhitungan angka yang ditetapkan, Kabupaten Simalungun lebih dulu ada dari Kota Pematangsiantar. Hanya saja ada perbedaan perhitungan tahun kesepakatan soal tanggal kelahiran. Peringatan hari jadi Kota Pematangsiantar dihitung mulai dari kelahiran Raja Siantar Sangnawaluh Damanik, 24 April 1871. Sementara hari jadi Kabupaten Simalungun, tahun kelahirannya bukan dihitung dari kelahiran seorang raja. Tetapi dihitung berdasarkan tanggal pembuatan Pustaha Laklak (pustaka kuno) yang ditemukan di Talang Tuo Palembang (Sumatera Selatan), yakni 11 April 1833. Meski perhitungan dan tanggal penetapan tersebut masih saja berpeluang untuk dikritisi kembali. Merujuk fakta sejarah, cikal-bakal Simalungun diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Nagur, sekitar tahun 500-an.