BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam proses perkembangan bangsa Indonesia sampai saat ini,Etnis cina merupakansalah satu elemen penting yang turut andil dalam proses terbentuknya Indonesia.Etnis cinayang merupakan kaum imigran yang tersebar di seluruh dunia, telah ada di Indonesia jauhsebelum kemerdekaan,tepatnya pada masa kerajaan di Nusantara.Keberadaan Etnis Cina diIndonesia tidak terlepas dari tujuan mereka untuk berdagang dan mendirikan bisnis. Namundemikian, seiring berjalanya waktu,Etnis Cina yang menetap di indonesia juga telahmelahirkan suatu budaya baru,hasil asimilasi budaya asli mereka dengan budayaIndonesia,yang kemudian menjadi sebuah identitas dan melahirkan klasifikasi masyarakat baru yang sering disebut “Cina Peranakan”.
Eksistensi dan peran Etnis cina di Indonesia semakin besar dari waktu ke waktu. Etnis Cina telah berhasil merasuk dan menjadi suatu bagian dari tatanan masyarakat indonesia yang plural. Mereka menjadi fondasi ekonomi pasca kemerdekaan, dengan kegiatan perdagangan yang begitu intens dan skala yang besar. Menjadikan Etnis cina sebagai pemegang kontrolatas kegiatan perekonomian di Indonesia pada saat itu. Ditambah lagi,kedekatan parapengusaha Etnis Cina dengan pemerintah yang berkuasa, yang pada saat itu dipegang oleh Soeharto, semakin memperlancar usaha mereka dalam menjalankan bisnis. Selain itu,Etnis Cina yang telah berkembang di banyak wilayah di Indonesia juga telah berhasil membentuk suatu lapisan masyarakat baru yang terstruktur dan terorganisir, dan mereka juga telah merasa sebagai satu bagian dari masyarakat indonesia, yang kemudian memunculkan keinginan Etnis Cina untuk turut berpartisipasi dalam menyuarakan tuntutan serta pendapat mereka dalamperpolitikan Indonesia, yang kemudian baru terwujud secara nyata pasca Reformasi.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Latar belakang Kedatangan Etnis Cina di Indonesia.
Bangsa cina merupakan bangsa perantau yang didominasi oleh kaum pedagang. Kondisisosiologis di Cina sebagai sebuah negeri yang sempat dijuluki Tirai Bambu karena penerapansistem komunis totaliternya. Merupakan tipologi masyarakat yang cenderung berkelana danberjuang hidup dengan cara berdagang dan bisnis. warga Cina Peranakan pada tahun 1930setidaknya nampak jelas bahwa peranan mereka lebih banyak dibidang perdagangan.Sebelumnya, telah muncul klasifikasi warga Cina keturunan/peranakan (yang lahir diIndonesia) dan warga Cina totok atau asli. Keduanya memang sangat berperan dalam bidangperdagangan di Indonesia, pada tahun 1930-an. Terutama warga Cina Asli yang menurutanalisa, pada pasca kemerdekaan, yang lebih mendominasi arus perdagangan di Indonesia.Peranan kuat atas perekonomian di Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang Eropa danwarga Cina memang cukup banyak dicatat dalam sejarah. Semacam terdapat pembagianperan kala itu pasca pra-kemerdekaan; Eropa yang berperan sebagai eksportir dan importir,warga pribumi sendiri berperan sebagai petani nelayan, pedagang eceran, dll, sedangkanperan warga Cina peranakan berada diposisi tengah-tengah sebagai pedagang perantara ataudistributor besar.Memasuki Tahun 1986 sampai Agustus 1999 merupakan masa keemasan bisnis etnisCina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan “Keluarga Cendana”. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyanggga pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal,spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi pointistimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas. Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan dandibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi tidak kuat, maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang “menyakitkan” dengan adanyakrisis moneter. Kalangan bawah “bergerak” karena ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonominya, serta sikap anti kemapanan, yang salah satunyatercetus dalam bentuk kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko sertapusat perdagangan terutama yang dimiliki oleh etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnyamantan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh pada sikap anti etnis Cina terutama yangmemiliki usaha. Orang Cina yang trauma akibat kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari keluar negara, dan sebagian ada yang melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnisCina di kota-kota besar banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminankeamanan dari mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan keadaan.
B.Peran dan Loyalitas Politik Etnis Cina di Indonesia.
Menurut Dr.Leo Suryadinata dalam bukunya “Dilema Minoritas Tionghoa”, yang
disana membagi zaman pergerakan di Indonesia sebelum kemerdekaan menjadi 2 tahap;tahap pergerakan proto-nasionalis (1908-1926), dan tahap nasionalisme Indonesiasesungguhnya (1927-1942), dimana konsep tentang negara bangsa, lambang, bendera, danlagu kebangsaan mulai munscul. Sebenarnya sejak tahap proto-nasionalis, warga minoritasTionghoa, dalam buku tersebut, sudah mulai tersisih dari pergerakan. Ditandai denganterbentuknya Tiong Hoa Hwee, organisasi pertama warga Tionghoa yang terbentuk 1900, 8tahun lebih awal dari Boedi Utomo yang terbentuk 1908.Saat penjajahan Belanda di Indonesia, Pemerintah Hindia-Belanda mengklasifikasikan penduduk Indonesia menjadi 3 bagian berdasarkan etnis atau bersifat rasial, dan masing-masing memiliki aturan perundang-undangan dari pemerintah Hindia-Belanda yang berbeda; Orang-orang Eropa (Belanda), Orang Timur Asing (termasuk wargaTionghoa,dan Arab), dan Pribumi (masyarakat Indonesia). Orang-orang Tionghoa,
sebenarnya pada sejak tahun 1900 tersebut telah „keluar‟ dari status Tionghoa Lokal dan
kembali menganggap diri mereka masih merupakan bagian warga Cina.Adapun pergerakan Indonesia yang ketika itu terdapat Indische Partij dan PartaiKomunis Indonesia hanya berlaku bagi keanggotaan „orang Indonesia Asli‟. Dan gerakan
Syarikat Islam malah bernada anti-Tionghoa. Pada saat itu warga Tionghoa secara politis memang tidak diberikan tempat yang layak hingga pada kebebasan berpolitik praktissekalipun. Namun, pada tahap kedua, menurut Dr. Leo Suryadinata, tahap nasionalissesungguhnya, dimana muncul Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang memberikankesempatan warga Tionghoa peranakan untuk bergabung sebagai anggota. Bahkan KetuaGerindo, Amir Syarifuddin mengatakan “bahwa kewarganegaraan seseorang tidak ditentukan oleh darah, warna kulit, atau bentuk muka akan tetapi oleh 3 faktor, yaitu: tujuan, cita-cita, dan keinginan yang kuat.‟(Suryadinata;1986). Namun muncul pro-kontra terkait kebijakanGerindo tersebut apalagi mengenai loyalitas warga Tionghoa kepada Indonesia. Terdapat insiden yang terjadi pada tahun 1918 yakni huru-hara anti-Tionghoa yangterjadi di Kudus, yang melibatkan Syarikat Islam, dengan warga Tionghoa setempat. Peristiwa tersebut menuai pro-kontra terkait sebab-musabat insiden itu terjadi, ada yangberpendapat etnis Tionghoa menjadi awal kerusuhan, dan etnis Tionghoa menyatakanSyarikat Islam bertanggung jawab atas insiden tersebut, dikarenakan perbedaan persepsimengenai “bangsa‟, dan pengaruh warga Tionghoa secara ekonomi memang sangat kuat kalaitu. Maka,terdapat suatu pendapat khusus mengenai alasan pendirian Syarikat Dagang Islam yang sebenarnya memiliki tujuan untuk memajukan perdagangan pribumi muslim dan berusaha mendobrak monopoli ekonomi warga Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa. Sebenarnya pada tahun itu pula, warga Tionghoa sudah diberikan kesempatan, mesti kecil untuk bergabung dalam keanggotaan Insulinde, Indische Partij yang berubah nama danbersikap sedikit longgar terhadap Tionghoa peranakan. Dan perlu diketahui pada saat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, seluruh perwakilan organisasi kepemudaan dari berbagai suku (kecuali Irian Jaya), hadir dalam pengesahan sidang kepemudaan Indonesia tersebut, namun disana tidak terdapat satu punorganisasi Tionghoa peranakan yang menghadiri sidang sumpah pemuda, melainkan seorang saja, yang bernama Kwee Thiam Hong alias Daud Budiman, yang mewakili Jong SumatranenBond. (Leo Suryadinata;1986). Analisa yang terbentuk pada saat zaman penjajahan secara politis, umumnyapergerakan Indonesia menolak minoritas Tionghoa dalam organisasi-organisasi politik, dansekaligus menolak mereka untuk masuk dalam pencitraan bangsa Indonesia.Perspektif yangdibangun mengenai bangsa Indonesia yang merupakan warga Indonesia asli. Menjadi buahpemikiran kaum nasionalis Islam hingga nasionalis sekuler. Cara pandang tersebut berimplikasi pada sistem kenggotaan partai atau organisasi pergerakan kala itu. Serta sikappribumi terhadap minoritas Tionghoa.Namun belakangan sikap tersebut berubah pasca kemerdekaan dan berimplikasi padasistem keanggotaan organisasi politik bagi warga Tionghoa.Pasca kemerdekaan Indonesia, setidaknya mulai muncul titik terang keikutsertaan wargaTionghoa peranakan dalam perpolitikan Indonesia. UUD 1945 menyebutkan secara eksplisitbahwa semua warga negara berkedudukan sama didepan hukum. Dan pada September 1946,Bung Hatta meyakinkan orang Tionghoa bahwa mereka mendapat kedudukan dan hak yangsama dengan orang Indonesia asli.Kebijakan politik Indonesia dalam menyikapi warga Tionghoa, sebenarnya tidak lepasdengan kondisi RRC sebagai negeri asal penduduk Tionghoa. Kondisi RRC yang ketika itudinilai sebagai kekuatan komunis terbesar di dunia, mendapat perhitungan yang matang dariIndonesia. Selain itu, pemerintah pasca kemerdekaan sedang gencar-gencarnya meminta dukungan dari beberapa negara untuk mengakui kedaulatan NKRI, negara yang pertamamengakui; Mesir dan India.Namun, peran politik warga Tionghoa sempat terjebak pada kondisi instabilitas keduanegara, terutama kecurigaan pemerintah RI akan kondisi dan status RRC sebagai negarakomunis. Terbukti, salah satunya disaat pemerintahan Hatta yang non-komunis mulaimencurigai aktifitas dikedutaan RRC di Indonesia, dengan duta besar pertama RRC saatitu,Wang Jen-Shu.Peran secara individual warga Tionghoa secara politis memang tidak begitu signifikanapalagi kalau dihadapakan pada kondisi pasang surut pemerintah RI dengan RRC,menyebabkan ruang politik warga Tionghoa masih terbatas pada organisasi bentukkanmereka sendiri yang sifatnya masih tradisional, dan bercorak ekonomi. Kebijakan pemerintahSoekarno dengan Jakarta-Peking-Pyongyang-nya dulu pun tidak berdampak cukup signifikanpada kesempatan warga Tionghoa masuk dalam jajaran kabinet maupun jabatan politislainnya. Bahkan kebijakan pemerintah dalam UUD 1945 menyatakan bahwa presidenIndonesia merupakan warga negara Indonesia asli. Berarti, secara tidak langsung menguburharapan warga keturunan untuk bercita-cita tinggi, menjadi presiden.
Orde baru sebagai rezim pemerintah berlabel republik terlama didunia, berhasilmembuka kran bagi warga Tionghoa perawakan untuk sedikit bernafas lega, mesti anginpasca PKI masih sesekali berhembus dan berimplikasi pada kehidupan mereka sehari-hari.Namun, hubungan antara pemerintah dengan para pengusaha kakap asal Tionghoamenjadikan mereka mendapat tempat yang layak dikalangan birokrasi pemerintah, dansedikit mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah, khususnya dibidang ekonomi.Sebelum akhirnya Orde Baru tumbang pada Mei 1998, dan berganti kepada erareformasi. Disana sudah muncul kepemimpinan Tionghoa peranakan yang berhasil menjabatsebagai salah satu menteri yang paling strategis. Kwik Kian-Gie, sosok warga Tionghoa yangberhasil menduduki jabatan strategis pada pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Sebenarnya, kalau dikatakan warga Tionghoa memiliki loyalitas terhadap Indonesia. Sudah terbukti dari sikap mereka turut dalam memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia pasca kemerdekaan. Para investor asing terutama Tionghoa. Sudah lama berkecimpung ditengah arus pasar bebas. Selain itu, cukup banyaknya warga Tionghoa yang mampu berasimilasi dalam kehidupan mereka dimasyarakat, hidup menyatu dengan masyarakat Indonesia. Mengakui kedaulatan Negara Indonesia dengan bersedia menjadi warga negara Indonesia dengan menggunakan prasyarat yang telah dibuat pemerintah. Loyalitas merekapun nampak pada kesediaan mereka menggunakan bahasa Indonesia dan segala atributnasional Indonesia, melakukan pendidikan yang bercampur dengan pribumi, sebelum akhirnya ada juga diantara mereka yang enggan bersekolah di negeri dan lebih memilih berpendidikan disekolah swasta, yang diketahui hanya merupakan bentuk pencarian kearah kualitas pendidikan formal. Saat ini tidak ada yang mesti dikhawatirkan mengenai kondisi warga Tionghoa yang sudah puluhan tahun berdomisili di negara Indonesia. Loyalitas tidak semata diukur dengan kemampuan mereka mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun Tionghoa menjadi sebuah unsur terpenting dalam proses pembangunan bangsa Indonesia kearah perubahan dan perbaikan. Itu merupakan bagian dalam proses mengisi pembangunan di Indonesia, dari aspek ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tionghoa menjadi identitas yang utuh dalam kebudayaan Indonesia, sebagai bagian multikulturalisme dalam berbangsa.
BAB III KESIMPULAN
Kedekatan Soeharto dengan para pengusaha Etnis Cina memang tidak selalu berkonotasi negatif. Ada beberapa pengusaha Etnis Cina yang dapat mengembangkan usahanya sendiri hingga berkembang pesat sehingga mampu menopang perekonomian Indonesia. Akan tetapi, kita tidak dapat menolak kenyataan bahwa dalam beberapa kasus,bisnis tidak dapat dipisahkan dari politik. Begitu juga sebaliknya. Berkembangnya perusahaan-perusahaan konglomerasi Etnis Cina di era Soeharto,adalah akibat birokrasi patrimonial yang berlaku saat itu. Dalam jenis pemerintahan patrimonial seperti itu, praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) hampir tidak dapat dihin dari lagi. Soeharto, yang saat itu adalah pemegang kekuasaan utama di Indonesia, menjadi patron paling kuat dan memberikan perlindungan kepada pengusaha, bawahan dan orang-orang yang loyal kepadanya. Sebagai balasan, faktor-aktor yang telah dilindungi Soeharto memberikan dukungan kepadanya. Praktek KKN dalam struktur birokrasi patrimonial tersebut berimplikasi pada pertumbuhan usaha – usaha Etnis Cina di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun.
Sebagai pengusaha yang terkenal paling dekat dengan Soeharto, Liem Siong Liong berhasil membawa Grup Salim menjadi grup konglomerat terbesar di Indonesia saat itu, bahkan di AsiaTenggara. Sebagai grup bisnis dengan skala besar, tentu Grup Salim dan konglomerat lainnya juga membawa implikasi yang positif terhadap Indonesia. Salah satunya adalah, mereka mampu bersaing di pasar global karena memiliki sarana dan dana yang cukup. Namun tidak sedikit pula dampak negatif dari dukungan pemerintah terhedap usaha-usaha Etnis Cina yang berlebihan ini. Salah satunya, para Pengusaha Besar adalah salah satu aktor krusial yang melatarbelakangi krisis 1997. Karena ingin mengembangkan imperiumbisnis mereka dengan cara yang instan, beberapa pengusaha mulai meminjam modal dari luar negeri tanpa banyak pertimbangan. Dampak dari kecerobohan mareka terjadi pada tahun1997, ketika Indonesia diterpa krisis moneter. Ketika nilai rupiah terus merosot dan merekakesulitan mengembalikan pinjaman, mereka mulai menjual sahamnya. Sehingga permintaanakan valuta asing berubah menjadi rush pada 14 Agustus 1997.
A. Latar Belakang Masalah
Dalam proses perkembangan bangsa Indonesia sampai saat ini,Etnis cina merupakansalah satu elemen penting yang turut andil dalam proses terbentuknya Indonesia.Etnis cinayang merupakan kaum imigran yang tersebar di seluruh dunia, telah ada di Indonesia jauhsebelum kemerdekaan,tepatnya pada masa kerajaan di Nusantara.Keberadaan Etnis Cina diIndonesia tidak terlepas dari tujuan mereka untuk berdagang dan mendirikan bisnis. Namundemikian, seiring berjalanya waktu,Etnis Cina yang menetap di indonesia juga telahmelahirkan suatu budaya baru,hasil asimilasi budaya asli mereka dengan budayaIndonesia,yang kemudian menjadi sebuah identitas dan melahirkan klasifikasi masyarakat baru yang sering disebut “Cina Peranakan”.
Eksistensi dan peran Etnis cina di Indonesia semakin besar dari waktu ke waktu. Etnis Cina telah berhasil merasuk dan menjadi suatu bagian dari tatanan masyarakat indonesia yang plural. Mereka menjadi fondasi ekonomi pasca kemerdekaan, dengan kegiatan perdagangan yang begitu intens dan skala yang besar. Menjadikan Etnis cina sebagai pemegang kontrolatas kegiatan perekonomian di Indonesia pada saat itu. Ditambah lagi,kedekatan parapengusaha Etnis Cina dengan pemerintah yang berkuasa, yang pada saat itu dipegang oleh Soeharto, semakin memperlancar usaha mereka dalam menjalankan bisnis. Selain itu,Etnis Cina yang telah berkembang di banyak wilayah di Indonesia juga telah berhasil membentuk suatu lapisan masyarakat baru yang terstruktur dan terorganisir, dan mereka juga telah merasa sebagai satu bagian dari masyarakat indonesia, yang kemudian memunculkan keinginan Etnis Cina untuk turut berpartisipasi dalam menyuarakan tuntutan serta pendapat mereka dalamperpolitikan Indonesia, yang kemudian baru terwujud secara nyata pasca Reformasi.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Latar belakang Kedatangan Etnis Cina di Indonesia.
Bangsa cina merupakan bangsa perantau yang didominasi oleh kaum pedagang. Kondisisosiologis di Cina sebagai sebuah negeri yang sempat dijuluki Tirai Bambu karena penerapansistem komunis totaliternya. Merupakan tipologi masyarakat yang cenderung berkelana danberjuang hidup dengan cara berdagang dan bisnis. warga Cina Peranakan pada tahun 1930setidaknya nampak jelas bahwa peranan mereka lebih banyak dibidang perdagangan.Sebelumnya, telah muncul klasifikasi warga Cina keturunan/peranakan (yang lahir diIndonesia) dan warga Cina totok atau asli. Keduanya memang sangat berperan dalam bidangperdagangan di Indonesia, pada tahun 1930-an. Terutama warga Cina Asli yang menurutanalisa, pada pasca kemerdekaan, yang lebih mendominasi arus perdagangan di Indonesia.Peranan kuat atas perekonomian di Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang Eropa danwarga Cina memang cukup banyak dicatat dalam sejarah. Semacam terdapat pembagianperan kala itu pasca pra-kemerdekaan; Eropa yang berperan sebagai eksportir dan importir,warga pribumi sendiri berperan sebagai petani nelayan, pedagang eceran, dll, sedangkanperan warga Cina peranakan berada diposisi tengah-tengah sebagai pedagang perantara ataudistributor besar.Memasuki Tahun 1986 sampai Agustus 1999 merupakan masa keemasan bisnis etnisCina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan “Keluarga Cendana”. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyanggga pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal,spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi pointistimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas. Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan dandibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi tidak kuat, maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang “menyakitkan” dengan adanyakrisis moneter. Kalangan bawah “bergerak” karena ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonominya, serta sikap anti kemapanan, yang salah satunyatercetus dalam bentuk kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko sertapusat perdagangan terutama yang dimiliki oleh etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnyamantan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh pada sikap anti etnis Cina terutama yangmemiliki usaha. Orang Cina yang trauma akibat kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari keluar negara, dan sebagian ada yang melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnisCina di kota-kota besar banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminankeamanan dari mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan keadaan.
B.Peran dan Loyalitas Politik Etnis Cina di Indonesia.
Menurut Dr.Leo Suryadinata dalam bukunya “Dilema Minoritas Tionghoa”, yang
disana membagi zaman pergerakan di Indonesia sebelum kemerdekaan menjadi 2 tahap;tahap pergerakan proto-nasionalis (1908-1926), dan tahap nasionalisme Indonesiasesungguhnya (1927-1942), dimana konsep tentang negara bangsa, lambang, bendera, danlagu kebangsaan mulai munscul. Sebenarnya sejak tahap proto-nasionalis, warga minoritasTionghoa, dalam buku tersebut, sudah mulai tersisih dari pergerakan. Ditandai denganterbentuknya Tiong Hoa Hwee, organisasi pertama warga Tionghoa yang terbentuk 1900, 8tahun lebih awal dari Boedi Utomo yang terbentuk 1908.Saat penjajahan Belanda di Indonesia, Pemerintah Hindia-Belanda mengklasifikasikan penduduk Indonesia menjadi 3 bagian berdasarkan etnis atau bersifat rasial, dan masing-masing memiliki aturan perundang-undangan dari pemerintah Hindia-Belanda yang berbeda; Orang-orang Eropa (Belanda), Orang Timur Asing (termasuk wargaTionghoa,dan Arab), dan Pribumi (masyarakat Indonesia). Orang-orang Tionghoa,
sebenarnya pada sejak tahun 1900 tersebut telah „keluar‟ dari status Tionghoa Lokal dan
kembali menganggap diri mereka masih merupakan bagian warga Cina.Adapun pergerakan Indonesia yang ketika itu terdapat Indische Partij dan PartaiKomunis Indonesia hanya berlaku bagi keanggotaan „orang Indonesia Asli‟. Dan gerakan
Syarikat Islam malah bernada anti-Tionghoa. Pada saat itu warga Tionghoa secara politis memang tidak diberikan tempat yang layak hingga pada kebebasan berpolitik praktissekalipun. Namun, pada tahap kedua, menurut Dr. Leo Suryadinata, tahap nasionalissesungguhnya, dimana muncul Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang memberikankesempatan warga Tionghoa peranakan untuk bergabung sebagai anggota. Bahkan KetuaGerindo, Amir Syarifuddin mengatakan “bahwa kewarganegaraan seseorang tidak ditentukan oleh darah, warna kulit, atau bentuk muka akan tetapi oleh 3 faktor, yaitu: tujuan, cita-cita, dan keinginan yang kuat.‟(Suryadinata;1986). Namun muncul pro-kontra terkait kebijakanGerindo tersebut apalagi mengenai loyalitas warga Tionghoa kepada Indonesia. Terdapat insiden yang terjadi pada tahun 1918 yakni huru-hara anti-Tionghoa yangterjadi di Kudus, yang melibatkan Syarikat Islam, dengan warga Tionghoa setempat. Peristiwa tersebut menuai pro-kontra terkait sebab-musabat insiden itu terjadi, ada yangberpendapat etnis Tionghoa menjadi awal kerusuhan, dan etnis Tionghoa menyatakanSyarikat Islam bertanggung jawab atas insiden tersebut, dikarenakan perbedaan persepsimengenai “bangsa‟, dan pengaruh warga Tionghoa secara ekonomi memang sangat kuat kalaitu. Maka,terdapat suatu pendapat khusus mengenai alasan pendirian Syarikat Dagang Islam yang sebenarnya memiliki tujuan untuk memajukan perdagangan pribumi muslim dan berusaha mendobrak monopoli ekonomi warga Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa. Sebenarnya pada tahun itu pula, warga Tionghoa sudah diberikan kesempatan, mesti kecil untuk bergabung dalam keanggotaan Insulinde, Indische Partij yang berubah nama danbersikap sedikit longgar terhadap Tionghoa peranakan. Dan perlu diketahui pada saat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, seluruh perwakilan organisasi kepemudaan dari berbagai suku (kecuali Irian Jaya), hadir dalam pengesahan sidang kepemudaan Indonesia tersebut, namun disana tidak terdapat satu punorganisasi Tionghoa peranakan yang menghadiri sidang sumpah pemuda, melainkan seorang saja, yang bernama Kwee Thiam Hong alias Daud Budiman, yang mewakili Jong SumatranenBond. (Leo Suryadinata;1986). Analisa yang terbentuk pada saat zaman penjajahan secara politis, umumnyapergerakan Indonesia menolak minoritas Tionghoa dalam organisasi-organisasi politik, dansekaligus menolak mereka untuk masuk dalam pencitraan bangsa Indonesia.Perspektif yangdibangun mengenai bangsa Indonesia yang merupakan warga Indonesia asli. Menjadi buahpemikiran kaum nasionalis Islam hingga nasionalis sekuler. Cara pandang tersebut berimplikasi pada sistem kenggotaan partai atau organisasi pergerakan kala itu. Serta sikappribumi terhadap minoritas Tionghoa.Namun belakangan sikap tersebut berubah pasca kemerdekaan dan berimplikasi padasistem keanggotaan organisasi politik bagi warga Tionghoa.Pasca kemerdekaan Indonesia, setidaknya mulai muncul titik terang keikutsertaan wargaTionghoa peranakan dalam perpolitikan Indonesia. UUD 1945 menyebutkan secara eksplisitbahwa semua warga negara berkedudukan sama didepan hukum. Dan pada September 1946,Bung Hatta meyakinkan orang Tionghoa bahwa mereka mendapat kedudukan dan hak yangsama dengan orang Indonesia asli.Kebijakan politik Indonesia dalam menyikapi warga Tionghoa, sebenarnya tidak lepasdengan kondisi RRC sebagai negeri asal penduduk Tionghoa. Kondisi RRC yang ketika itudinilai sebagai kekuatan komunis terbesar di dunia, mendapat perhitungan yang matang dariIndonesia. Selain itu, pemerintah pasca kemerdekaan sedang gencar-gencarnya meminta dukungan dari beberapa negara untuk mengakui kedaulatan NKRI, negara yang pertamamengakui; Mesir dan India.Namun, peran politik warga Tionghoa sempat terjebak pada kondisi instabilitas keduanegara, terutama kecurigaan pemerintah RI akan kondisi dan status RRC sebagai negarakomunis. Terbukti, salah satunya disaat pemerintahan Hatta yang non-komunis mulaimencurigai aktifitas dikedutaan RRC di Indonesia, dengan duta besar pertama RRC saatitu,Wang Jen-Shu.Peran secara individual warga Tionghoa secara politis memang tidak begitu signifikanapalagi kalau dihadapakan pada kondisi pasang surut pemerintah RI dengan RRC,menyebabkan ruang politik warga Tionghoa masih terbatas pada organisasi bentukkanmereka sendiri yang sifatnya masih tradisional, dan bercorak ekonomi. Kebijakan pemerintahSoekarno dengan Jakarta-Peking-Pyongyang-nya dulu pun tidak berdampak cukup signifikanpada kesempatan warga Tionghoa masuk dalam jajaran kabinet maupun jabatan politislainnya. Bahkan kebijakan pemerintah dalam UUD 1945 menyatakan bahwa presidenIndonesia merupakan warga negara Indonesia asli. Berarti, secara tidak langsung menguburharapan warga keturunan untuk bercita-cita tinggi, menjadi presiden.
Orde baru sebagai rezim pemerintah berlabel republik terlama didunia, berhasilmembuka kran bagi warga Tionghoa perawakan untuk sedikit bernafas lega, mesti anginpasca PKI masih sesekali berhembus dan berimplikasi pada kehidupan mereka sehari-hari.Namun, hubungan antara pemerintah dengan para pengusaha kakap asal Tionghoamenjadikan mereka mendapat tempat yang layak dikalangan birokrasi pemerintah, dansedikit mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah, khususnya dibidang ekonomi.Sebelum akhirnya Orde Baru tumbang pada Mei 1998, dan berganti kepada erareformasi. Disana sudah muncul kepemimpinan Tionghoa peranakan yang berhasil menjabatsebagai salah satu menteri yang paling strategis. Kwik Kian-Gie, sosok warga Tionghoa yangberhasil menduduki jabatan strategis pada pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Sebenarnya, kalau dikatakan warga Tionghoa memiliki loyalitas terhadap Indonesia. Sudah terbukti dari sikap mereka turut dalam memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia pasca kemerdekaan. Para investor asing terutama Tionghoa. Sudah lama berkecimpung ditengah arus pasar bebas. Selain itu, cukup banyaknya warga Tionghoa yang mampu berasimilasi dalam kehidupan mereka dimasyarakat, hidup menyatu dengan masyarakat Indonesia. Mengakui kedaulatan Negara Indonesia dengan bersedia menjadi warga negara Indonesia dengan menggunakan prasyarat yang telah dibuat pemerintah. Loyalitas merekapun nampak pada kesediaan mereka menggunakan bahasa Indonesia dan segala atributnasional Indonesia, melakukan pendidikan yang bercampur dengan pribumi, sebelum akhirnya ada juga diantara mereka yang enggan bersekolah di negeri dan lebih memilih berpendidikan disekolah swasta, yang diketahui hanya merupakan bentuk pencarian kearah kualitas pendidikan formal. Saat ini tidak ada yang mesti dikhawatirkan mengenai kondisi warga Tionghoa yang sudah puluhan tahun berdomisili di negara Indonesia. Loyalitas tidak semata diukur dengan kemampuan mereka mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun Tionghoa menjadi sebuah unsur terpenting dalam proses pembangunan bangsa Indonesia kearah perubahan dan perbaikan. Itu merupakan bagian dalam proses mengisi pembangunan di Indonesia, dari aspek ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tionghoa menjadi identitas yang utuh dalam kebudayaan Indonesia, sebagai bagian multikulturalisme dalam berbangsa.
BAB III KESIMPULAN
Kedekatan Soeharto dengan para pengusaha Etnis Cina memang tidak selalu berkonotasi negatif. Ada beberapa pengusaha Etnis Cina yang dapat mengembangkan usahanya sendiri hingga berkembang pesat sehingga mampu menopang perekonomian Indonesia. Akan tetapi, kita tidak dapat menolak kenyataan bahwa dalam beberapa kasus,bisnis tidak dapat dipisahkan dari politik. Begitu juga sebaliknya. Berkembangnya perusahaan-perusahaan konglomerasi Etnis Cina di era Soeharto,adalah akibat birokrasi patrimonial yang berlaku saat itu. Dalam jenis pemerintahan patrimonial seperti itu, praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) hampir tidak dapat dihin dari lagi. Soeharto, yang saat itu adalah pemegang kekuasaan utama di Indonesia, menjadi patron paling kuat dan memberikan perlindungan kepada pengusaha, bawahan dan orang-orang yang loyal kepadanya. Sebagai balasan, faktor-aktor yang telah dilindungi Soeharto memberikan dukungan kepadanya. Praktek KKN dalam struktur birokrasi patrimonial tersebut berimplikasi pada pertumbuhan usaha – usaha Etnis Cina di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun.
Sebagai pengusaha yang terkenal paling dekat dengan Soeharto, Liem Siong Liong berhasil membawa Grup Salim menjadi grup konglomerat terbesar di Indonesia saat itu, bahkan di AsiaTenggara. Sebagai grup bisnis dengan skala besar, tentu Grup Salim dan konglomerat lainnya juga membawa implikasi yang positif terhadap Indonesia. Salah satunya adalah, mereka mampu bersaing di pasar global karena memiliki sarana dan dana yang cukup. Namun tidak sedikit pula dampak negatif dari dukungan pemerintah terhedap usaha-usaha Etnis Cina yang berlebihan ini. Salah satunya, para Pengusaha Besar adalah salah satu aktor krusial yang melatarbelakangi krisis 1997. Karena ingin mengembangkan imperiumbisnis mereka dengan cara yang instan, beberapa pengusaha mulai meminjam modal dari luar negeri tanpa banyak pertimbangan. Dampak dari kecerobohan mareka terjadi pada tahun1997, ketika Indonesia diterpa krisis moneter. Ketika nilai rupiah terus merosot dan merekakesulitan mengembalikan pinjaman, mereka mulai menjual sahamnya. Sehingga permintaanakan valuta asing berubah menjadi rush pada 14 Agustus 1997.